page

Kamis, 04 April 2013

Zaman sudah berubah

Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu berkata, "Sesungguhnya kalian berada pada suatu zaman (yakni zaman beliau hidup, -pen.) yang didapati banyak para ulamanya, sedikit ahli pidatonya, sedikit pula peminta-mintanya, dan berlimpahnya pemberian. Amal perbuatan pada zaman ini merupakan pembimbing bagi berbagai hawa nafsu. Sepeninggal kalian, akan datang suatu masa yang sedikit didapati para ulamanya, banyak oratornya, begitu pula pengemisnya, dan sedikitnya pemberian. Hawa nafsu pada masa itu merupakan pemimpin bagi amal-amal (mereka). Ketahuilah, benarnya manhaj dan baiknya akhlak seseorang pada akhir zaman itu lebih utama daripada beberapa amal perbuatan."

(Rasysyul Barad Syarh al-Adabul Mufrad, hal. 120)

Sabtu, 08 Desember 2012

Pendapat Nyeleneh Prof Musdah Mulia, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah

Salah satu tokoh JIL (Jaringan Islam Liberal), Siti Musdah Mulia, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah (Ciputat, Banten) punya beberapa pendapat yang nyleneh mengenai jilbab dan ia terkenal dengan pemikiran kebebasannya. Dalam talkshow dan bedah buku yang berjudul “Psychology of Fashion: Fenomena Perempuan (Melepas Jilbab)”, juga di forum lainnya, beliau mengeluarkan beberapa pendapat kontroversial mengenai jilbab yang kami rinci sebagai berikut:

Pertama: Menurut Bu Profesor Musdah Mulia, guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Ciputat, realitas sosiologis di masyarakat, jilbab tidak menyimbolkan apa-apa, tidak menjadi lambang kesalehan dan ketakwaan. Tidak ada jaminan bahwa pemakai jilbab adalah perempuan shalehah, atau sebaliknya perempuan yang tidak memakai jilbab bukan perempuan shalehah. Jilbab tidak identik dengan kesalehan dan ketakwaan seseorang.

SANGGAHAN :

Bagaimana mungkin kita katakan jilbab bukanlah lambang kesalehan dan ketakwaan. Orang liberal biasa hanya pintar berkoar-koar tetapi tidak pernah ilmiah. Kalau mau ilmiah, yah seharusnya berhujjah dengan dalil. Ibnul Qayyim menukilkan perkataan seorang penyair:

العلم قال الله قال رسوله

“Ilmu adalah apa kata Allah, apa kata Rasul-Nya.” Jadi kalau bukan Al Qur’an dan hadits yang dibawa namun hanya pintar omong, maka itu berarti tidak ilmiah.

Bagaimana dikatakan berjilbab bukan lambang ketakwaan? Sedangkan takwa sebagaimana kata Tholq bin Habib,

التَّقْوَى : أَنْ تَعْمَلَ بِطَاعَةِ اللَّهِ عَلَى نُورٍ مِنْ اللَّهِ تَرْجُو رَحْمَةَ اللَّهِ وَأَنْ تَتْرُكَ مَعْصِيَةَ اللَّهِ عَلَى نُورٍ مِنْ اللَّهِ تَخَافَ عَذَابَ اللَّهِ

“Takwa: engkau melakukan ketaatan pada Allah atas cahaya dari Allah dalam rangka mengharap rahmat Allah dan engkau meninggalkan maksiat pada Allah atas cahaya dari Allah dalam rangka takut akan adzab Allah.”[12] Bukankah kewajiban mengenakan jilbab sudah diperintahkan dalam ayat,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka“ (QS. Al Ahzab: 59). Juga dalam ayat,

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya”(QS. An Nur: 31). Ini jelas perintah dan menjalankan perintah adalah bagian dari ketakwaan dan bentuk taat pada Allah.

Enggan berjilbab jelas termasuk maksiat karena dalam ayat setelah menerangkan sifat mulia wanita yang berjilbab ditutup dengan,

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An Nur: 31). Kalau disuruh bertaubat berarti tidak berjilbab termasuk maksiat. Lantas bagaimana dikatakan berjilbab bukan bagian dari takwa? Sungguh aneh jalan pikirannya.

Jika jilbab bukan lambang ketakwaan karena ada yang berjilbab bermaksiat, maka kita boleh saja menyatakan shalat juga bukan lambing ketakwaan karena ada yang shalat namun masih bermaksiat. Namun tidak ada yang berani menyatakan untuk shalat pun demikian. Jadi, tidak jelas bagaimana cara berpikir para pengagum kebebasan (orang liberal).

Kata Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat terakhir di atas, yang namanya keberuntungan diraih dengan melakukan perintah Allah dan Rasul-Nya dan meninggalkan yang dilarang. Jadi, biar selamat di akhirat dan selamat dari jilatan neraka, maka berjilbablah.

Kedua: Bu Profesor yang sangat mengagumi Gus Dur berkata pula, “Tidaklah keliru jika dikatakan bahwa jilbab dan batas aurat perempuan merupakan masalah khilafiyah yang tidak harus menimbulkan tuduh menuduh apalagi kafir mengkafirkan. Mengenakan, tidak mengenakan, atau menanggalkan jilbab sesungguhnya merupakan pilihan, apapun alasannya. Yang paling bijak adalah menghargai dan menghormati pilihan setiap orang, tanpa perlu menghakimi sebagai benar atau salah terhadap setiap pilihan.”

Ibu Musdah menyampaikan pula, “Kalau begitu, jelas bahwa menggunakan jilbab tidak menjadi keharusan bagi perempuan Islam, tetapi bisa dianggap sebagai cerminan sikap kehati-hatian dalam melaksanakan tuntutan Islam. Kita perlu membangun sikap apresiasi terhadap perempuan yang atas kerelaannya sendiri memakai jilbab, sebaliknya juga menghargai mereka yang dengan pilihan bebasnya melepas atau membuka kembali jilbabnya. Termasuk mengapresiasi mereka yang sama sekali tidak tertarik memakai jilbab.”

BANTAHAN :

Waw … satu lagi pendapat yang aneh. Bagaimana bisa dikatakan jilbab adalah suatu pilihan bukan suatu kewajiban?

Ayat-ayat yang menerangkan wajibnya jilbab sudah jelas. Hadits pun mengiyakannya. Begitu pula ijma’ para ulama menyatakan wajib bagi wanita menutup seluruh badannya dengan jilbab kecuali terdapat perselisihan pada wajah dan kedua telapak tangan. Sebagian ulama menyatakan bahwa wajah dan telapak tangan juga wajib ditutup. Sebagaian lain mengatakan bahwa wajah dan telapak tangan boleh dibuka, namun menutupnya adalah sunnah (bukan wajib). Dalil keduanya sama-sama kuat, jadi tetap kedua pendapat tersebut mewajibkan jilbab, namun diperselisihkan manakah yang boleh ditampakkan.

Jadi batasan aurat wanita memang ada khilaf apakah wajah dan telapak tangan termasuk aurat. Namun para ulama sepakat akan wajibnya jilbab. Sehingga pendapat Bu Profesor barangkali perlu dirujuk kembali dan harus membuktikan keilmiahannya, bukan hanya asal berkoar.

Kalau jilbab telah dinyatakan wajib, maka tidak ada kata tawar menawar atau dijadikan pilihan. Kalau dipaksakan dalam Perda agar para pegawai berjilbab, itu langkah yang patut didukung. Bukan malah seperti kata JIL yang menganggap Perda tersebut malah mengekang wanita.

Begitu pula tidak boleh mengapresiasi orang yang memamerkan lekuk tubuhnya, gaya rambut dan pamer aurat. Karena perbuatan mereka patut diingkari. Jika punya kekuasaan (sebagai penguasa), maka diingkari dengan tangan. Jika tidak mampu, maka dengan lisan dan tulisan sebagai peringatan dan pengingkaran. Jika tidak mampu, maka wajib diingkari dengan hati. Jika dengan hati tidak ada pengingkaran malah memberikan apresiasi, maka ini jelas tanda persetujuan pada kemungkaran dan tanda bermasalahnya iman. Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ

“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu, hendaklah dia merubah hal itu dengan lisannya. Apabila tidak mampu lagi, hendaknya dia ingkari dengan hatinya dan inilah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no. 49)

Dari artikel Kata JIL: Jilbab Bukan Kewajiban Namun Pilihan (1) — Muslim.Or.Id by null .

Minggu, 12 Agustus 2012

Wong Fei Hung Ternyata Ulama dan Pendekar Sekaligus Tabib

Kombinasi antara pengetahuan ilmu pengobatan tradisional dan teknik  beladiri serta ditunjang oleh keluhuran budi pekerti sebagai Muslim  membuat keluarga Wong sering turun tangan membantu orang-orang lemah dan  tertindas pada masa itu. Karena itulah masyarakat Kwantung sangat  menghormati dan mengidolakan Keluarga Wong.Kombinasi antara pengetahuan ilmu pengobatan tradisional dan teknik beladiri serta ditunjang oleh keluhuran budi pekerti sebagai Muslim membuat keluarga Wong sering turun tangan membantu orang-orang lemah dan tertindas pada masa itu. Karena itulah masyarakat Kwantung sangat menghormati dan mengidolakan Keluarga Wong.
Selama ini kita hanya mengenal Wong Fei Hung sebagai jagoan Kung fu dalam film Once Upon A Time in China. Dalam film itu, karakter Wong Fei Hung diperankan oleh aktor terkenal Hong Kong, Jet Li. Namun siapakah sebenarnya Wong Fei Hung? Wong Fei Hung adalah seorang Ulama, Ahli Pengobatan, dan Ahli Beladiri legendaris yang namanya ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional China oleh pemerintah China. Namun Pemerintah China sering berupaya mengaburkan jatidiri Wong Fei Hung sebagai seorang muslim demi menjaga supremasi kekuasaan Komunis di China. Wong Fei-Hung dilahirkan pada tahun 1847 di Kwantung (Guandong) dari keluarga muslim yang taat. Nama Fei pada Wong Fei Hung merupakan dialek Canton untuk menyebut nama Arab, Fais. Sementara Nama Hung juga merupakan dialek Kanton untuk menyebut nama Arab, Hussein. Jadi, bila di-bahasa-arab-kan, namanya ialah Faisal Hussein Wong.

Ayahnya, Wong Kay-Ying adalah seorang Ulama, dan tabib ahli ilmu pengobatan tradisional, serta ahli beladiri tradisional Tiongkok (wushu/kungfu). Ayahnya memiliki sebuah klinik pengobatan bernama Po Chi Lam di Canton (ibukota Guandong). Wong Kay-Ying merupakan seorang ulama yang menguasai ilmu wushu tingkat tinggi. Ketinggian ilmu beladiri Wong Kay-Ying membuatnya dikenal sebagai salah satu dari Sepuluh Macan Kwantung. Posisi Macan Kwantung ini di kemudian hari diwariskannya kepada Wong Fei Hung.

Kombinasi antara pengetahuan ilmu pengobatan tradisional dan teknik beladiri serta ditunjang oleh keluhuran budi pekerti sebagai Muslim membuat keluarga Wong sering turun tangan membantu orang-orang lemah dan tertindas pada masa itu. Karena itulah masyarakat Kwantung sangat menghormati dan mengidolakan Keluarga Wong.

Kamis, 02 Agustus 2012

Penulisan Salam

Kita sering menyingkat penulisan salam "Assalamu Alaikum" menjadi "ass" ketika chatting, sms atau menulis email ke teman kita. Alangkah lebih baiknya jika kita menuliskan salam itu dengan lengkap "Assalamu Alaikum" atau "Assalamu Alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh", karena salam adalah doa kepada rekan yang kita beri salam. "Assalamu Alaikum" berarti Semoga keselamatan bagi kamu. "Assalamu Alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh" artinya Semoga keselamatan, Rahmat dan Barokah dari Allah untukmu.
Ketika pengucapan salam kita singkat menjadi "ass" tidak ada artinya dalam bahasa Arab. Namun dalam bahasa Inggris berati "bokong". Tidak mau kan kita mengucapkan kata kotor ini kepada orang yang kita sayang?...
Maka mulai saat ini ayoo kita mulai mengucapkan salam dengan selengkap mungkin.

Rabu, 01 Agustus 2012

Menghilangkan Bau Mulut Saat Puasa



Puasa tidak bisa dipisahkan dari masalah bau mulut. Hal ini sudah jelas disebutkan dalam hadits:



Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ